Chapter 2: -Kabut Ungu-
Sirine bahaya terus meraung di udara malam Distrik Utara, memecah ketenangan yang baru saja terganggu. Ezora memandang ibunya dengan bingung ketika Erraniel menarik tangannya, membimbingnya menuju ruang belakang rumah mereka.
"Ibu, apa yang terjadi?" tanya Ezora dengan suara gemetar, matanya mencari jawaban dari wajah ibunya.
"Ezora, dengarkan ibu baik-baik," kata Erraniel, suaranya tegas namun penuh kasih. "Kita tidak punya banyak waktu. Kamu harus bersembunyi."
"Bersembunyi? Dari apa?" Ezora semakin bingung.
Erraniel tidak menjawab. Dia membuka pintu tersembunyi di lantai dapur mereka, sebuah panel logam yang sebelumnya tidak pernah disadari oleh Ezora. Pintu itu terbuka dengan suara mendesing pelan, memperlihatkan tangga yang mengarah ke bawah tanah.
"Masuklah," perintah Erraniel, suaranya mulai terdengar mendesak.
Ezora menatap ibunya dengan mata membulat. "Ibu, aku tidak mengerti. Kenapa ada ruang seperti ini di rumah kita? Apa yang terjadi?"
Erraniel berlutut, memegang pundak kecil putrinya. "Ezora, dengarkan ibu. Di bawah sana kamu akan aman. Jangan keluar sebelum ada seseorang yang membukakan pintu untukmu, mengerti? Ini sangat penting."
"Tapi—"
"Tidak ada tapi. Ibu janji, semuanya akan baik-baik saja," potong Erraniel, meskipun matanya memancarkan kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
Ezora akhirnya mengangguk, meski hatinya penuh kebingungan. Dia menuruni tangga dengan langkah ragu, sementara Erraniel menutup pintu di atasnya. Saat lampu ruangan menyala otomatis, Ezora terkejut melihat apa yang ada di sekelilingnya.
Ruang bawah tanah itu tidak seperti yang dia bayangkan. Bukannya gelap dan lembap seperti di film-film, tempat ini lebih mirip laboratorium modern. Meja-meja penuh dengan perangkat canggih, layar holografik memproyeksikan data yang sulit dimengerti, dan tabung-tabung kaca berisi cairan berwarna biru menyala berdiri di sudut ruangan.
"Apa ini?" Ezora berbisik pada dirinya sendiri, matanya menjelajahi tempat itu dengan takjub.
Sementara itu, di luar rumah, Erraniel bergegas menuju Erura Laboratory, tempatnya bekerja. Suara sirine berasal dari pusat penelitian itu, menandakan adanya ancaman besar. Begitu sampai di sana, dia disambut oleh kekacauan. Para peneliti berlari ke sana kemari, mencoba mematikan alarm atau mencari sumber bahaya.
"Erraniel!" panggil seorang pria berjubah putih.
"Apa yang terjadi?" tanya Erraniel, berusaha menenangkan dirinya.
"Kita belum tahu pasti, tapi tampaknya ada kebocoran di ruang inti," jawab pria itu. "Kabut ungu mulai menyebar."
Mata Erraniel membelalak. "Kabut ungu? Tapi itu seharusnya tidak mungkin! Sistem pengaman seharusnya mencegah hal ini!"
"Kami juga tidak tahu apa yang salah. Semua sistem tampaknya diretas dari luar," jawab pria itu dengan cemas.
Erraniel mengepalkan tangannya. Dia tahu apa arti kabut ungu itu—zat beracun yang dapat menghancurkan seluruh distrik dalam hitungan jam.
Di tengah kekacauan itu, Erraniel menghampiri seorang remaja laki-laki berambut putih perak dengan mata ungu tajam. Namanya Light, salah satu murid terbaik di laboratorium tersebut.
"Light!" panggil Erraniel.
Light menoleh, menghentikan aktivitasnya yang sedang memeriksa layar holografik. "Ada apa, Bu Erraniel?"
Erraniel menarik napas dalam sebelum berkata, "Aku butuh bantuanmu. Aku ingin kamu pergi ke rumahku sekarang."
Light tampak bingung. "Ke rumah Anda? Tapi, situasinya—"
"Tidak ada waktu untuk penjelasan panjang. Di sana, kamu akan menemukan putriku, Ezora. Jagalah dia untukku. Dia ada di ruang bawah tanah. Pastikan dia tidak keluar," kata Erraniel sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna perak. Kotak itu dihiasi ukiran bunga myosotis yang rumit.
Light menatap kotak itu dengan ragu. "Apa ini?"
"Sesuatu yang harus dia miliki. Dan Light… jika sesuatu terjadi padaku, kamu yang akan melindunginya mulai sekarang," Erraniel berkata dengan suara yang bergetar.
"Kata-kata Anda terdengar seperti pesan perpisahan," Light berkata dengan nada dingin namun tajam.
Erraniel tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan di matanya. "Mungkin memang begitu. Tapi percayalah, ini satu-satunya cara."
Light terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan enggan. "Baiklah, saya akan melakukannya."
---
Light bergegas menuju rumah Erraniel. Begitu sampai, dia menemukan pintu tersembunyi di lantai dapur dan mengetuknya dengan lembut.
"Ezora, bisa buka?" katanya dengan suara tenang.
Ezora membuka pintu dengan hati-hati, melihat sosok Light yang asing baginya. "Kakak siapa?"
"Aku murid ibumu. Dia mengirimku untuk menjaga kamu. Oh ya, namaku Light" jawab Light sambil menyerahkan kotak perak itu. "Dia juga menitipkan ini untukmu."
Ezora memegang kotak itu dengan bingung. "Apa isinya?"
"Aku tidak tahu. Tapi ibumu bilang ini penting," jawab Light singkat.
Di laboratorium, Erraniel dan para peneliti lainnya berusaha keras menghentikan penyebaran kabut ungu. Namun, situasi semakin tidak terkendali. Sistem pengaman mereka akhirnya aktif, menciptakan dinding laser yang membatasi kabut agar tidak menyebar ke luar distrik.
Di balik dinding laser, seorang pria berdiri, memandang dengan tatapan penuh rasa bersalah. Pria itu adalah ayah Ezora. Dia menyentuh dinding laser dengan tangannya, seolah-olah mencoba melewati batas yang tak terlihat.
"Maafkan aku…" bisiknya pelan sebelum berbalik dan menghilang ke dalam kabut ungu.
Tak lama kemudian, ledakan besar mengguncang laboratorium, mengguncang seluruh Distrik Utara. Getaran itu terasa hingga ke ruang bawah tanah tempat Ezora dan Light bersembunyi.
"Apa itu?" Ezora bertanya dengan suara gemetar.
Light tidak menjawab. Dia hanya menatap langit-langit, menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi.
Di luar, kabut ungu mulai menyelimuti Distrik Utara, membawa kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya.